Rabu, 11 Januari 2012

Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam


Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. Sedangkan implikasi bagi guru itu sendiri adalah guru dituntut untuk melaksanakan kewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Yang jadi persoalan adalah kalau seorang guru agama ditugasi mengajar di sekolah, misalnya di sekolah dasar (SD) ada 6 kelas kemudian di satu kelas guru mengajar 3 jam pelajaran, sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah 18 jam pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas yang diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak berhak memperoleh tunjangan-tunjangan sebagai guru karena kewajiban mengajarnya belum memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tuntutan itu harus benar-benar diperhitungkan karena pemerintah memberikan dan menaikkan tunjangan-tunjangan bukan hanya gaji kepada guru yang melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang sudah ditentukan. Mulai tahun 2009 ini sekurang-kurangnya gaji guru ini bisa memperoleh penghasilan 4 juta rupiah kalau sudah disertifikasi. Sehingga upaya pemerintah ini cukup bagus yaitu dengan menaikkan kesejahteraan guru. Kemudian supaya guru-guru memenuhi tuntutan itu, maka guru dapat menggunakan ekstra kurikuler di dalam pembinaan agama Islam. Untuk ekstra kurikuler banyak yang bisa dilakukan. Misalnya membina peserta didik belajar Al Quran, praktek wudlu maupun praktek sholat dan sebagainya. Kalau tidak melalui ekstrakurikuler dan dikontrol satu persatu maka tidak akan ketemu orang yang memang memerlukan pembinaan itu. Jadi yang namanya mengajar itu jangan hanya cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari tuntutan minimal wajib mengajar. Jadi seharusnya dilakukan diskusi-diskusi dengan guru-guru agama untuk memenuhi tuntutan kewajiban mengajar.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru. Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan pendidikan agama ketika memberikan pelajaran bidang studi. Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan secara bersama-sama ini, dapat membentuk pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan yang baik dan benar. Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Pengembangan Pendidikan Islam


Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan.
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Ini semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat, orang tua. Dalam kenyataan pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak hal yang belum memenuhi harapan.
Misalnya kalau guru memberikan pendidikan agama Islam kepada peserta didik, maka tentu yang kita inginkan adalah peserta didik bukan hanya mengerti tetapi juga dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik yang bersifat pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan keterampilan peserta didik.
Peserta didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa dikatakan telah berhasil jika nikai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya, jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang, belum bisa dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang belum memenuhi harapan dan keinginan kita. Contoh lainnya, hampir sebagian besar umat Islam menginginkan peserta didiknya bisa membaca Al Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada sekolah agar peserta didiknya bisa membaca Al Quran, praktek pendidikan agama Islam di sekolah, bisa mengerti dan mampu melaksanakan pokok-pokok ajaran agama atau kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti syarat dan rukun shalat. Maka sekolah nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena terbatasnya waktu alokasi atau jam pelajaran di sekolah.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kota-kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah bagi peserta didik mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah diniyah atau pesantren mengikuti pendidikan agama Islam di sekolah tidak terlalu banyak menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar agama Islam di diniyah atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar agama Islam dengan mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan pendidikan agama Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain. Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan akhlak mulia.
Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran agama Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya 2 jam pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada kurikulum agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran pendidikan agama Islam melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua.
Gambaran umum tentang mutu pendikan pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah yang menjadi agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu pertama sumber daya guru, kedua pelaksanaan pendidikan agama Islam, dan ketiga terkait dengan kegiatan evaluasi dan pengujian tentang pendidikan agama Islam di sekolah.
1. Sumber daya manusia berupa guru.
Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan guru pendidikan agama Islam untuk satuan pendidikan peserta didik usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Dilakukan pula pendidikan dan pelatihan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian bea peserta didik Strata 1 (S – 1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga melakukan sertifikasi guru pendidikan agama Islam.
Guru pendidikan agama Islam di sekolah dilihat dari segi latar belakang pendidikan kira-kira 60% khususnya sudah mencapai S – 1 dari berbagai lembaga pendidikan tinggi. Namun lulusan S1 ini belum mejadikan guru yang bermutu dalam menyampaikan pendidikan agama Islam. Oleh karena itu guru perlu dibina dalam bentuk kelompok kerja guru mata pelajaran yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk meningkatkan kemampuannya, karena peningkatan kemampuan itu harus dilakukan secara terus-menerus, belajar sepanjang hayat, minal mahdi ilallahdi. Apalagi zaman sekarang perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat yang jika tidak diikuti maka guru akan ketinggalan informasi. Di MGMP digunakan sebagai forum meningkatkan kemampuan secara internal melalui upaya diskusi kelompok atau belajar kelompok.
Peningkatan kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru yang belum mencapai gelar S – 1 sesuai dengan Undang-Undang yaitu memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa banyak meninggalkan tugas-tugas di sekolah yaitu dengan merancang suatu program pendidikan dualmode system. Dualmode system adalah dua modus belajar yaitu menggunakan modul sebagai bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada kuliah secara tatap muka di tempat yang sudah ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa dengan dosennya. Dualmode system itu hakekatnya sama dengan Universitas Terbuka yang melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas jauh dari suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi membuka kelas di luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol kualitas pembelajaran dan kualitas lulusannya. Program belajar jarak jauh belajarnya menggunakan sarana atau alat, dengan alat utamanya berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul sebagai bahan kuliah. Di dalam modul itu ada tujuan pembelajarannya yang harus dicapai setelah menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran yang diajarkannya kemudian langsung dilengkapi dengan format evaluasinya. Mereka belajar sendiri dan mengukur kemampuan sendiri. Tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka diberikan kesempatan untuk berkumpul di suatu tempat yang ditentukan, kemudian dosennya datang untuk memberikan respons, tanya jawab, diskusi, dan pengayaan terhadap modul yang sudah dipelajari tersebut. Begitu pula ujiannya diisi langsung oleh dosen. Inilah yang disebut dengan belajar jarak jauh plus tatap muka.
Dengan demikian guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu sekolah, tetapi tetap harus datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk untuk kuliah tatap muka. Secara Undang-Undang pun kegiatan ini legal, karena ada pasal atau Bab dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ (Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-Undang itu secara lebih spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya dengan memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-learning atau e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan atau dibuka oleh perguruan tinggi yang tidak ditugasi, jadi harus dikendalikan atau dikoordinasikan.
Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru, pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat. Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung. Maka harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang mengajar, atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-duanya sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang harus selalu meningkatkan kualitas dirinya.

Pengembangan media


Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ (Gerlach & Ely 1971). Secara lebih khusus , pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Gerlach & Ely (1971) mengemukakan tiga ciri media yang digunakan dalam pendidikan
a. Ciri Fiksatif (Fixative Property)
Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksikan suatu peristiwa atau obyek.
b. Ciri Manipulatif
Transformasi suatu kejadian atau obyek dimungkinkan karena media memiliki ciri manipulatif. kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse recording.
c. Ciri Distributif (Distributive Property)
Ciri distributif dari media memungkinkan suatu obyek atau kejadian ditransportasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadiaan tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa denganstimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu.
C. PENGEMBANGAN MEDIA
Salah satu kriteria yang sebaiknya di gunakan dalam pemilihan media adalah dukungan terhadap isi bahan pelajaran dan kemudahan memperolehnya. Apabila media yang sesuai belum tersedia maka guru berupaya untuk mengembangkannya sendiri. Oleh karena, pada bagian ini akan diuraikan teknik pengembangan media berbasis visual (yang meliputi gambar, chart, grafik, transparansi, dan slide), media berbasis audio visual (video dan audio tape), dan media berbasis komputer (komputer dan video interaktif).

Keseimbangan Lingkungan


UPAYA MENJAGA KESEIMBANGAN LINGKUNGAN

Beberapa contoh upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, yaitu :
·         Mengurangi penggunaan kertas dan mendaur ulangnya
·         Mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia dalam rumah tangga karena dapat mencemari lingkungan
·         Tidak boros dalam penggunaan air dan membangun daerah resapan air di halaman rumah
·          Mengurangi produksi sampah, memisahkan sampah, dan mendaur ulangnya
·          Menghemat penggunaan bahan bakar
·         Menghentikan jual-beli berbagai spesies hewan langka
·         Tidak membakar hutan untuk membuka lahan
·         Menerapkan sistem bercocok tanam yang memperhatikan lingkungan, yaitu dengan mengendalikan hama secara alami dengan metode biological control (menggunakan musuh alami dari hama). Upaya ini untuk mencegah munculnya populasi hama yang resisten terhadap pestisida.
·          Pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap berbagai produk impor. Upaya ini untuk mencegah masuknya spesies asing ke dalam negeri

Hal terpenting yang perlu dilakukan dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan adalah upaya pelestarian hutan dengan cara reboisasi, tidak melakukan penebangan hutan secara acak, dan menghentikan penebangan hutan secara liar. Penegakan hukum yang tegas dan adil juga perlu dilakukan terhadap perambah dan penebang hutan liar.

Pendidikan sebagai Human Capital


Peranan Pendidikan sebagai Human capital
Peranan pendidikan dalam kehidupan adalah sangat penting karena di era globalisasi sekarang ini dunia kerja menuntut sumber daya manusia yang bermutu dan berkualitas oleh karena itu dunia pendidikan mau tidak mau harus dapat menciptakan wadah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan tenaga kerja yang terampil.
Human capital bukanlah  memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan).
Telah banyak sumber dan pakar ekonomi pendidikan mengatakan bahwa pendidikan memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Berbagai kajian akadernis dan kajian empiris telah membuktikan hal ini. Pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas (merniliki pengetahuan dan keterampilan serta· menguasai teknologi) tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Salah satu ciri Negara maju adalah tingginya tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi oleh karena itu pendidikan sangat di tekankan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia seperti adanya pelatihan skill,ketrampilan dan pengetahuan tentang dunia usaha agar menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing,kompeten,kreatif,berwawasan luas dan mempunyai integritas tinggi yang dibutuhkan oleh berbagai sektor usaha baik sektor industry dan lainnya.


B. Alasan Pendidikan sebagai Human capital
          Alasan mengapa pendidikan sebagai Human capital adalah karena Pendidikan merupakan investasi yang paling penting dalam modal manusia untuk menjawab tantangan global pada saat ini. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sekolah tinggi dan pendidikan tinggi di Amerika Serikat sangat meningkatkan pendapatan seseorang, bahkan setelah dikurangi biaya langsung dan tidak langsung dalam jenjang pendidikannya di sekolah, dan bahkan setelah disesuaikan untuk fakta bahwa orang dengan pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki IQ yang lebih tinggi dan lebih baik.
Bukti serupa yang mencakup bertahun-tahun sekarang tersedia dari lebih dari seratus negara dengan budaya yang berbeda dan sistem ekonomi. Pendapatan bagi orang berpendidikan tinggi hampir selalu jauh di atas rata-rata, dibandingkan dengan orang yang berpendidikan dibawahnya.
Tentu saja, pendidikan formal bukan satu-satunya cara untuk berinvestasi dalam modal manusia. Pekerja juga belajar dan dilatih di luar sekolah, terutama pada pekerjaan. Bahkan lulusan perguruan tinggi tidak sepenuhnya siap menghadapi pasar tenaga kerja ketika mereka meninggalkan sekolah dan harus dipasang ke pekerjaan mereka melalui program pelatihan formal dan informal.
Oleh karena itu keahlian dan kecakapan seseorang dalam menghadapi persaingan tenaga kerja sangat dipengahuri oleh seberapa tinggi dan luasnya pendidikan yang dimiliki masing-masing individu.
Maka dari itu diperlukannya usaha-usaha dan program-program untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bermutu tinggi untuk menghadapi persaingan internasional karena dunia kerja sangat menuntut untuk memperoleh sumber daya manusia yang bervarietas tinggi.

Pendidikan Islam


PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan islam dalam bahasa arab disebut tarbiyah islamiyah. Terbiyah berasal dari tiga kata raba, yarbu, yang artinya bertambah dan tumbuh, rabia, yarba beraarti menjadi besar dan rabba, yarubbu memperbaiki, menuntun, menjaga dan memelihara.
Mendidik dalam arti luas tentu tidak hanya mengajar. Pengajaran lebih tepat digunakan untuk mendidik akal terkait dengan usaha pemberian ilmu dan pemmahaman dalam rangka memandaikan peserta didik. Dan tugas hakiki pendidikan islam adalah dapat menginternalisasikan nilai-nilai antroposentris hingga manusia yang pada dasarna tidak hanya berpotensi baik, melainkan juga memiliki potensi buruk menurut ukuran agama, dua potensi tersebut sama-sama berkembang. Bahwasannya manusia secara kodrati memiliki potensi baik dan buruk, hal ini dapat digali dari firman Allah dalam QS Asy-Syam: 7-8.
Faktor pembawaan fitri atau keturunan pengaruhnya lebih kuat ketika ia masih kecil, makin dewasa pengaruh lingkungan dan factor dari lusr makin besar. Maka pendidikan tidak hanya mengembangkan potensi saja tapi harus ada pengarahan. Pendidikan dibarengi tujuan islami wajib dilaksanakan guna; (1) Menyelamatkan generasi muda dari menjadi korban hawa nafsu karena pengaruh paham materialism-hedonisme yang begitu dahsyat; (2) menyelamatkan anak-anak yang terjauhkan dari ajaran nilai-nilai agama islam. Begitulah konsep dan tugas pendidikan islam yaitu menumbuhkembangkan potensi peserta didik sekaligus mengarahkan sesuai dengan tujuan dan visi-misi pendidikan islam.
Dari pengertian-pengertian diatas, dapatlah kita mengambil benang merah pengertian pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya pemindahan pengetahuan kepada anak didik, namun perlu diintegrasikan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, sehingga dapatlah seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki kepribadian muslim yang mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta hidup bahagia di dunia dan akhirat


Sains


 Hakekat Mempelajari Sains
Tuhan mempersilahkan manusia untuk memikirkan alam semesta berikut isinya dan segala konteksnya. Kecuali jangan pernah memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran manusia tidak akan pernah mencapainya. Hal ini adalah sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits Nabi: “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya”.
Bahkan dalam QS Ar Rahmaan Ayat 33, Tuhan berfirman: “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan“.
Apa yang disabdakan Nabi dan yang difirmankan Tuhan ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia. Pencarian ilmu bagi manusia agamis adalah kewajiban sebagai bentuk eksistensi keberadaannya di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam segala sikap dan tindakan. Keluasan wawasan, pandangan serta kekayaan informasi akan membuat seseorang lebih cenderung kepada obyektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk.
Orang yang berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah. Ilmu manfaatnya tidak terbatas, bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi ia membias ke orang lain yang mendengarkannya atau yang membaca karya tulisnya. Sementara itu, ibadah manfaatnya terbatas hanya pada sipelakunya.
Ilmu dan pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang memanfaatkannya, meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi pahala yang diberikan pada peribadahan seseorang, akan segera berakhir dengan berakhirnya pelaksanaan dan kegiatan ibadah tersebut.


Gender dan pendidikan


GENDER DAN PENDIDIKAN


            Isu gender di era global adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat dan Negara.  Masalah  yang sering  muncul  adalah  perdagangan  perempuan,  dan  pelacuran  paksa,  yang umumnya  timbul  dari  berbagai  faktor  yang  saling  terkait,  antara  lain  dampak negatif  dari  proses  urbanisasi,  relatif  tingginya  angka  kemiskinan  dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
  Terbentuknya  perbedaan  gender dikarenakan  oleh  banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan  dikonstruksi  secara  sosial  atau  kultural  melalui  ajaran  keagamaan maupun  negara.  Melalui  proses  panjang,  sosialisasi  gender  tersebut  akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial  gender  secara  evolusional  dan  perlahan-lahan  mempengaruhi  biologis masing-masing.

Pemilihan Media pembelajaran


Pengertian Media
Pengertian Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan, sehingga dapat merangsang fikiran, perasaan, perhatian
dan minat serta perhatian siswa dalam belajar
Media teridiri dari dua bagian, yaitu perangkat lunak (software) dan perangkat
keras (hardware), dan merupakan segala bentuk dan saluran yang digunakan
orang untuk menyalurkan pesan/informasi.

Pemilihan media pembelajar PAI perlu mempertimbangkan prinsip
pembelajaran PAI ABK. Dikaji dari tujuan pembelajaran PAI Ada  tiga (3)
prinsip utama pembelajaran, yaitu: mengembangkan pengetahuan tentang
ajaran kegamanan, terampil melakukan ajaran agama dalam kehidupan,
bersikap yang mencerminkan perilaku agamis dalam hidup bermasyarakat.

Penetapan pemilihan media setidaknya memperhatikan: 1) analisis
kesesuaian kondisi guru, siswa dan lingkungan, dan 2) karekteristik/sifat
media: a.  visible (dapat dilakukan), b.  interesting (menarik), c.  useful
(bermanfaat), d.  structured (susunan -- keunikannya),  accurate (tepat), dan        
f. prinsip kemudahan belajar siswa


PAI


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pendidikan Agama Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan-kamil)[1]. Menurut Prof. Dr. Omar Muhammmad Al-Touny al-Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan[2].
a.   Dasar Pendidikan Agama Islam
Menetapkan al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar Pendidikan Agama Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang disandarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Sebagai pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan di padanya firman Allah SWT: Q. S. Al Baqarah. Ayat 2.
Yang artinya:
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
     Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya, baik dalam pembinaaan aspek kehidupan spritual maupun aspek sosial budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenara hadis sebagai dasar kedua bagi Pendidikan Agama Islam. Secara umum, hadis dipahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, serta ketetapannya. Kepribadian Rasul sebagai uswat al-Hasanah yaitu contoh tauladan yang baik.
Dalam Pendidikan Agama Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu:
1) Menjelaskan sistem Pendidikan Agama Islam yang terdapat dalam al-Quran dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.
2) Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuan terhadap anak-anak, dan pendidik keimanan yang pernah dilakukannya[3].


Guru PAI


KOMPETENSI PROFESIONAL GURU PAI
Guru mempunyai peranan yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga profesi yang bermartabat dan profesional. Guru merupakan titik  sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses pembelajaran. Tetapi, mengapa peningkatan profesionalisme guru tidak dilakukan secara bersungguh-sungguh? Padahal, guru profesional akan menghasilakan proses dan hasil pendidikan yang berkualitas dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas).
Religiusitas berkembang semenjak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia. Dalam proses perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiusitas yang akan terekspresikan pada perilaku sehari-hari. Disinilah peran guru yang profesional untuk membimbing, mengarahkan tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan. Dengan profesionalisme guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager). Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olah raga[1].
Guru mendorong siswa untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswanya bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dengan pengetahuan. Sebagai pembimbing atau konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil inisiatif, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya


[1] Kusnandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 50

Psikologi Agama


Perkembangan religiusitas pada usia anak

Religiusitas berkembang semenjak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh dari luar manusia (Clark, 1958). Proses perkembangan religiusitas melewati tiga periode, yaitu: periode anak, remaja, dan dewasa. Penanaman nilai-nilai keagamaan nilai-nilai keagamaan tentang konsep ketuhanan, ibadah dan nilai-nilai moral yang berlangsung semenjak dini mampu membentuk religiusitas anak mengakar secara kuat dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup (Hurlock, 1978).
Teori perkekmbangan religiusitas menurut menurut Clark
ideas accepted on authority. semua pengetahuan yang dimiliki anak datang dari luar dirinya terutama dari orang tuanya. Semenjak lahir anak terbiasa menerima apa yang diasmpaikan orang tuanya. Maka nilai-nilai agama yang diberikan akan mudah diterima dan melekat pada diri anak.
Unreflective. anak menerima konsep keagamaan berdasar otoritas, pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap suatu yang menyenangkan terutama yang dikemas dalam bentuk cerita.
Egocentric. Mulai pada usia satu tahun pada anak terkembang kesadaran keberadaan tentang dirinya. Dalam proses pembentukan rasapentingnya keberadaan diri tumbuh egosentrisme, dimana anak melihat lingkungan dengan berpusat pada kepentingan dirinya. Maka pemahaman religiusitas anak juga didasarkan pada kepentingan diri tentang masalah keagamaan.
Antropomorphic.  Sifat anak yang mengkaitkan keadaan sesuatu yang abstrak dengan manusia.
verbalized and retualistic. Perilaku keagamaan pada anak baik yang menyangkut ibadah maupun moral baru bersifat lahiriyah, verbal, dan ritual tampa keinginan untuk memahaminya.
Imitative. Sifat dasar anak dalam melakukan perilaku sehari-hari adalah menirukan apa yang terserap dari lingkungannya.
spontaneous in some respect. Perhatian  secara spontan terhadap masalah agama yang bersifat abstrak.
Wondering. Rasa takjub yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia baru yang terbuka didepannya.
Reliogiositas anak adalah  hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambingan dari lahir sampai menjelang usia remaja. Dalam proses tersebut ada faktor internal maupun eksternal yang ikut berperan, diantaranya yaitu:
Peran perkembangan kognisi. Konsep tentang nilai-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiusitas masuk dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi dipahami sebagai kemampuan mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar diri individu.
Peran hubungan orang tua dengan anak. Orang tua sebagai sosok yang terdekat dengan anak selslu membimbing dan mengembangkan potensi religiusitas pada diri anak.
Peran consciense, guilt and shame dalam perkembangan religiusitas. Consciense (kata-hati), guilt (rasa bersalah), dan shame (rasa-malu) adalah keadaan jiwa yang saling berurutan. Conscience adalah kemampuan untuk mengerti tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Shame adalah reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap pernilaian negatif dari orang lain pada dirinya(Harlock, 1978).
Peran interaksi sosial dalam perkembangan religiusitas anak. Interaksi sosisal adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan diluar rumah, seperti dengan teman sebaya dan kawan sekolah.peranan ini juga penting bagi perkembangan religiusitas, karena melaui sosial anak akan   mengetahui apakah perilakunya yang telah terbentuk dari keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkunganya. Interaksi sosial menimbulkan motivasi anak untuk berperilaku seperti apa yang diterima oleh lingkungannya.

Psikologi islam


Psikologi Perkembangan Islami
A.    Definisi dan Ruang Lingkup Psikologi Perkembangan Islami
Psikologi perkembangan islami merupakan psikologi perkembangan yang mengkaji segala aspek perkembangan manusia dari perspektif Islam. Dengan demikian, secara umum psikologi perkembangan islami memiliki kesamaan objek studi dengan psikologi perkembanganyaitu proses pertumbuhan atau perubahan manusia. Psikologi perkembangan membatasi penelitiannya dari konsepsi samapi usia lanjut atau kematian, maka melalui studi literature keagamaan, psikologi perkembangan islami dapat memperluas ruang lingkup penelitiannya pada kehidupan yang bersifat transcendental, termasuk kehidupan setelah mati. Psikologi perkembangan islami juga bersifat fundamental yaitu memandang manusia sesuai dengan citranya sebagai khalifah Allah di muka bumi, seprti yang telah diterangkan dalam Al Qur’an dan Hadist. Sehingga, psikologi perkembangan islami merupakan kajian atas proses pertumbuhan dan perubahan manusia yang menjadikan Al Qur’an dan Hadist sebagai landasan berfikirnya.
Psikologi perkembangan islami juga membahas tentang berbagai aspek perkembangan yaitu aspek perkembangan fisik, kognitif, emosional, social, moral dan lain – lain. Dalam psikologi, istilah perkembangan memiliki banyak makna. Perkembangan berarti segala perubahan kualitatif dan kuantitatif yang menyertai pertumbuhan dan proses kematangan manusia. Dalam hal ini, pertumbuhan dan kematangan dianggap sebagai bagian dari pengertian umum perkembangan. Ruang lingkp definisi ini mencakup tentan perkembanagn sepanjang kehidupan manusia diantaranya  mencakup perkembangan prakelahiran, bayi, anak – anak, remaja, dewasa dan usia lanjut. Psikologi perkembangan islami melanjutkan tentang kehidupan ini dengan kehidupan pasca kematian.
Bidang kajian ini tidak hanya menggambarkan karakteristik psikologik yang berubah dari waktu ke waktu, namun juga berusaha menjelaskan prinsip – prinsip dasar dan factor internal yang bekerja mendasari perubahan ini. Untuk memahami hal ini diperlukan model tertentu dan model perkembangan tidak harus bersifat komputasional, tapi harus dapat menjelaskan proses yang terjadi. Model perkembangan islami tidak boleh bertentanagn dengan Al Qur ‘an dan Hadist karena memiliki paradigm sendiri yang mendasari kajiannya tentang perkembanagn manusia.

Psikologi Islam


Prinsip-prinsip perkembangan anak dalam Islam

Anak adalah anugrah  terindah
Anak adalah amanah Allah
Anak adalah fitnah bagi para orang tua.
Sebagai orang tua, sebagai calon guru, kita ingin memberikan pendidikan dan menjadi fasilitator terbaik dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kadang-kala begitu inginnya kita memenuhi kewajiban tersebut, kita melupakan kesiapan, minat, situasi dari anak-anak itu sendiri.

I. Prinsip Pertama :
“Kematangan dan Proses Belajar Sebagai Dasar Perkembangan”
Sekeras apapun seseorang mengajarkan bayi berbicara atau berjalan diusia 4 bulan, ia hanya akan menemui kegagalan. Karena pada usia tersebut, bayi belum mempunyai kematangan untuk berbicara atau berjalan.  Secara biologis,  ada perubahan pada otak dan sistim syaraf yang akan memberikan perintah pada aspek konitif dan fisik sang anak. Jika perubahan ini telah maksimal, maka sang bayi baru bisa melakukan kegiatan tersebut. Kita memang punya kemampuan untuk merangsang kerja otak dan sistim syaraf agar proses perubahan makin cepat. Tentunya bayi inipun (dengan bantuan rangsangan) akan mencapai perkembangan yang lebih capat dari yang seharusnya.
Disarankan
* Tidak berfikiran untuk “menciptakan bayi ajaib”
* Tidak baik juga, kita “membiarkan” bayi-bayi tumbuh dengan sendirinya
* Sebanyak mungkin memberikan berbagai rangsangan dan stimulan untuk membantu perkembangan anak.
II.Prinsip Kedua
Proses Perkembangan merupakan perubahan dari Konkret dan Sederhana menuju Kompleksitas
Pemahaman anak mengenai dunianya berlangsung secara bertahap. Sebagai contoh, Jika kita bertanya “Apa kesamaan apel dan jeruk?”  Anak usia 2 tahunan akan menjawab apel berwarna merah, jeruk berwarna kuning. Anak tersebut tidak melihat persamaannya, karena kata tersebut masih sulit ia mengerti, yang terlihat adalah perbedaan baginya. Untuk anak usia 3 -5 tahun jawabannya bisa jadi, sama-sama bisa dimakan. Sedang anak usia diatas 5 tahun, lebih dapat mendiskripsikan dengan menjawab, apel dan jeruk, sama-sama buah-buahan.
Sebaiknya :
Untuk hal yang bersifat abstrak, misalnya nilai-nilai religius, anak-anak diajarkan sesuai kemampuannya menganalisa masalah
III. Prinsip ketiga
Tumbuh Kembang merupakan proses berkelanjutan
Seiring dengan perkembangannya, anak akan menambah atau menyempurnakan ketrampilan yang telah dikuasai sebelumnya.  Ketrampilan tsb menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Sebagian anak mengikuti pola perkembangan yang sama. Contohnya, dalam perkembangan motorik, seorang anak harus belajar mengangkat kepalanya sebelum ia mampu menoleh. Seorang anak harus mampu mengangkat tangannya lebih dahulu sebelum ia mampu meraih sebuah benda dsbnya.
Sebaiknya :
Selalu memberikan perhatian pada setiap tahap perkembangan anak. Ketrampilan yang ia kuasai sekarang akan jadi landasan ketrampilannya berikutnya. Tidak ada satupun ketrampilan yang tidak penting dan dapat diabaikan.
IV Prinsip keempat
Dari ketrampilan umum ke khusus
Salah satu prinsip ini adalah perkembangan motorik anak. Gerakan fisik anak awalnya sangat umum, tidak terarah, terkendalikan secara refleks, dimulai dari motorik kasar berkembang ke motorik halus. Dalam memegang benda, anak akan memulai dengan mengambil barang-barang besar dan mengakhiri proses ini dengan “menjumput” sebutir nasi.
Sebaiknya:
Anda tidak memberikan tuntutan berlebih kepada anak. Anak-anak harus melewati banyak proses sebelum akhirnya bisa melakuka apa yang kita kerjakan. Misalnya makan sendiri dengan tertib.
V. Prinsip kelima :
“Perbedaan Individual pada Proses Tumbuh Kembang Setiap Anak”

Meskipun pola perkembangan dan tahap-tahapnya relatif sama pada setiap anak, ternyata setiap anak memiliki jadwal sendiri untuk menguasai ketrampilan tertentu.
Sebaiknya :
Anak-anak tidak saling dibandingkan. Ketidak seragaman mereka akan membuat orang tua merasa kecewa dan membuat frustasi, baik untuk orang tuanya maupun pada anak itu sendiri. Tabel perkembangan anak, hanya digunakan sebagai acuan bukan sebagai target.

VI Prinsip Keenam
Ajak anak untuk berpartisipasi aktif dalam proses perkembangan dan belajar”
Proses belajar melibatkan penyusunan pengetahuan pada diri anak, bukan trasfer informasi dari orangtua. Anak akan membangun pemahamannya melalui ekplorasi, interaksi dengan lingkugannya dan meniru model.
Sebaiknya :
Anda tidak mengkhawatirkan bahwa semua stimulasi dan rangsangan anak harus direncanakan. Anak akan belajar sendiri dari lingkungannya. Sebagai orang tua, kita hanya punya kewajiban menemani dan mengarahkan. Anda akan mengalami masa belajar yang menyenangkan bersama buah hati.